Kamis, 07 November 2013

“Padahal segolongan dari mereka (Yahudi) mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 75)
Keyakinan umat Islam bahwa Alkitab (Bible) kitab suci umat kristiani telah dipalsukan, bukanlah tuduhan tanpa dasar. Karena hal tersebut dapat dibuktikan baik dalam Al Qur’an maupun Bible itu sendiri. Sebagai contoh, di dalam Al Qur’an, kata “yuharrifuunahu” pada ayat di atas berasal dari kata “tahrif”, maksudnya adalah mereka (Yahudi) telah mengubahnya dengan melakukan penambahan dan pengurangan lafazh di dalam Taurat, atau menggantikan bagian-bagian tertentu dengan yang lain sehingga sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka.
Tahrif  terhadap kitab suci adalah tindakan yang sangat berbahaya, karena bisa merubah status hukum dari halal menjadi haram, dan sebaliknya.
Karena sedemikian besar bahaya tahrif terhadap kitab suci, maka Allah melaknat dan mengancam pelakunya dengan siksaan yang maha dahsyat,
“Maka kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan-tangan mereka sendiri, kemudian mereka mengatakan ini berasal dari Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit, Maka kecelakaan yang besar bagi mereka akibat tulisan tangan mereka, dan kecelakaan yang besar bagi mereka akibat perbuatan mereka.” (Q.S. Al Baqarah : 79)
Ancaman dengan menggunakan tiga kalimat “waylun” ini membuat bulu kudu merinding. Menurut Al-Mu’jam al-Wasith, makna umum “waylun” adalah solusi paling buruk. Sedangkan menurut tafsir Al-Wajiz li-Kitabillahil-‘Aziz, “waylun” adalah azab yang keras, kecelakaan besar, kutukan, kesengsaraan.
Jadi, keyakinan umat Islam bahwa kitab-kitab terdahulu telah dipalsukan adalah akidah yang benar sesuai Al Qur’an dan Sunnah. Karenanya, Rasulullah Saw mengajarkan agar umat Islam bersikap kritis terhadap apapun yang disampaikan oleh Ahli Kitab,
“Apabila ada ahli kitab yang berkata kepadamu, maka janganlah kamu benarkan dan jangan pula kamu dustakan. Katakanlah: “kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami (Al Qur’an) dan apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kami dari Tuhan (Rabb) kami.” Apabila yang disampaikan itu haq (benar), janganlah kamu dustakan. Jika batil janganlah kamu benarkan.” (H.R. Abu Daud)
Standar untuk menguji kebenaran kitab suci Yahudi dan Nasrani adalah Al Qur’an. Jika sesuai dengan Al Qur’an, berarti ia benar–Kristen tetapi kita tidak bisa memandangnya sebagai firman Allah. Sebaliknya, bila bertentangan berarti batil, dan kita wajib menolak kebatilan itu.
Meski dalam Alkitab (Bible), kitab suci kristiani terdapat empat Injil, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas dan Injil Yohanes, namun umat Islam tidak boleh mengimani dan mengamini empat Injil Kristen ini sebagai wahyu Allah seratus persen. Karena keempat Injil ini sangat diragukan kebenarannya.
Menurut hasil penelitian 72 profesor dan pakar Bible kaliber internasional yang tergabung dalam “The Jesus Seminar,” disimpulkan bahwa 82 persen kalimat yang redaksinya diucapkan Yesus di dalam kitab-kitab Injil, sebenarnya tidak pernah disabdakan oleh Yesus, “Eighty-two percent of  the words ascribed to Jesus in the Gospels were not actually spoken by him.” (Robert W Funk, Roy W Hoover, and The Jesus Seminar, The Five Gospels, What did Jesus Really Say?, hal. 5).
Para profesor dan ilmuwan Kristen itu begitu giat meneliti Bible karena haus dan lapar akan kebenaran.
Teolog Kristen pun Mengakui Kepalsuan Bibel
Seorang penginjil yang menamakan dirinya Umar Tariqas, menulis dalam bukunya “Ismael Saudaraku” menuduh umat Islam tidak memahami kandungan Al Qur’an karena meyakini kepalsuan Bible,
“Namun bila mereka itu Muslim, maka sulit untuk kita mencari dasar tuduhannya. Mungkin orang semacam ini kurang memahami ajaran Qur’an, atau terlanjur membutakan hatinya sendiri. Sekali Muslim menuding keabsahan Alkitab, mereka langsung masuk ke dalam dilema yang tidak terselesaikan” (hlm. 6).
Itu hanya retorika penginjil untuk menutupi kelemahan kitab sucinya. Keyakinan umat Islam bahwa kitab-kitab terdahulu sudah tidak asli, adalah akidah yang benar sesuai Al Qur’an dan Sunnah. Justru mati-matian membela Bible sebagai kitab suci yang otentik dan asli tanpa ada pemalsuan sedikit pun, adalah keyakinan yang menyalahi Alkitab (Bible) sendiri.
Pasalnya, dalam terbitan Bible sendiri diakui dan ditulis jelas bahwa banyak ayat-ayat yang benar-benar palsu. Misalnya, dalam Injil Markus 9 ayat 44 dan 46 tertulis:
“44 [di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.] 45 Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka; 46 [di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.]”
Tanda kurung dalam ayat 44 dan 46 itu bukan salah ketik maupun salah cetak, tapi menyimpan misteri teologis.
Dalam Bible bahasa Melayu tahun 1929, kedua ayat yang divonis palsu oleh lembaga Katolik itu sama sekali tidak dicantumkan. Karenanya, dalam susunan ayat Bible kuno itu terlihat loncat-loncat, tidak memuat ayat 44 dan 46 (hlm 116). Tak ada penjelasan apapun mengapa ayatnya tidak urut dari ayat 43 loncat ke ayat 45, lalu dari ayat 45 loncat lagi ke 47.
Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dalam “Kitab Suci Perjanjian Baru” terbitan Arnoldus Ende tahun 1977/1978, tanpa ragu-ragu memvonis keduanya sebagai ayat palsu dengan catatan kaki sebagai berikut:
“44, 46. Kedua ayat ini tidak asli dan hanya mengulang ayat 48.” (hlm 113)
Banyaknya kerancuan dalam Alkitab (Bible) inilah yang mendorong para Theolog tanpa malu-malu mereka mengakui dengan jujur tentang kelemahan otentitas Kitab Sucinya. Pengakuan itupun tertulis dengan jelas hitam di atas putih dalam buku-buku mereka, sebagai berikut:
Dr. G.C Van Niftrik dan Dr. B.J Bolland:
“Kita tidak usah malu-malu, bahwa terdapat berbagai kekhilafan di dalam Alkitab; kekhilafan-kekhilafan tentang angka-angka perhitungan; tahun dan fakta. Dan tak perlu kita pertanggungjawabkan kekhilafan-kekhilafan itu pada caranya, isi Alkitab telah disampaikan kepada kita, sehingga kita akan dapat berkata: “Dalam naskah aslinya tentu tidak terdapat kesalahan-kesalahan, tetapi kekhilafan itu barulah kemudian terjadi di dalam turunan naskah itu. Isi Alkitab juga dalam bentuknya yang asli, telah datang kepada kita dengan perantaraan manusia.” (Dogmatika Masa Kini, BPK Jakarta, 1967, hal 298)
Dr. R. Soedarmo:
“Dengan pandangan bahwa Kitab Suci hanya catatan saja dari orang, maka diakui juga bahwa di dalam Kitab Suci mungkin sekali ada kesalahan. Oleh karena itu Kitab Suci mungkin sekali ada kesalahan. Oleh karena itu Kitab Suci dengan bentuk sekarang masih dapat diperbaiki.” (Ikhtisar Dogamtika, BPK Jakarta, 1965 hal. 47)
Pdt. Dr. K. Riedel (Pakar Tafsir Alkitab):
“Tiap-tiap pembaca Kitab-Kitab Injil memang mengetahui, bahwa isi suatu Kitab Injil tidak selalu cocok dengan Kitab Injil yang lain.” (Tafsiran Injil Mathius, BPK Jakarta, 1963, hal.18)
Bart D. Ehrman (Pakar Sejarah Perjanjian Baru):
“Dengan kata lain, hal itu adalah salah satu bagian yang diajukan guna membuktikan bahwa Alkitab sama sekali tidak bebas salah, tetapi berisi kesalahan-kesalahan.” (Misquoting Jesus, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006,  hal. xxii)
Semakin jelas bahwa kepalsuan kitab terdahulu adalah keyakinan yang faktual, ilmiah dan sesuai dengan nash Ilahi. Sebaliknya, meyakini otentisitas Bible adalah halusinasi yang sangat tidak Alkitabiah!! [red/abi]
#Majalah Tabligh Edisi Rajab – Sya`ban 1433

0 komentar:

Posting Komentar