Ini adalah jurnal pemikiran islam sebagai bahan diskusi bersama teman-teman IMM cabang Bogor
semoga bermanfaat... ^_^
semoga bermanfaat... ^_^
© Jurnal Pemikiran Islam
Vol.1, No.2, Juni 2003
International Institute of Islamic Thought Indonesia
International Institute of Islamic Thought Indonesia
Melacak
“Akar” Ideologi
Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Imam
Cahyono
Abstract
Student movement is a part of history in Indonesia that always active to take a part of every change period. They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement, especially Islamic student movement in Indonesia. Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also explored their political expression
Student movement is a part of history in Indonesia that always active to take a part of every change period. They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement, especially Islamic student movement in Indonesia. Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also explored their political expression
Pendahuluan
Keberadaan gerakan mahasiswa
dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah
mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan
yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil
kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki
pengaruh signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah organisasi
massa (ormas) mahasiswa yang memiliki basis konstituen yang jelas dan massa
pendukung yang besar seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Pada sisi lain, tak bisa
dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan
kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama
lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti
perbedaan ideologi, strategi dan lainnya.
Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial.[1] Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan yang akan dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia?
Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial.[1] Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan yang akan dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia?
Ideologi
Dalam Keterbatasan Akar Konseptual
Menurut Frans Magnis
Suseno,[2] ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai
dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau
individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan
tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa
depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan
demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan
menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang
pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang
memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan
tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting,
namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah
istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan
tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang
melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu
sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal
biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas,
interpretasi dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci,[3]
ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara
historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi
‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak,
mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz
Magnis Suseno[4] mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama,
ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam
arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan
sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna
sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana
suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi
monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan
lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat
dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi
semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak
menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz
Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti
terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar,
sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan
dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi
dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori
melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita
bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak
totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok
orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti
implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam
keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan
bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit
saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu
sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan
melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas
sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi
tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial
berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan
sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat
tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat
mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan
politik.
Sepintas
Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia
Dalam sejarah perjalanan
bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan
pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966,
Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada
runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di
Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran
yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap
kritis membela kebenaran dan keadilan.
Menurut Arbi Sanit,[5] ada
lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan
sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai
kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai
pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat.
Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan,
mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara
angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui
akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa
sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur
ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata
lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa
terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah
masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke
jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk
sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan
mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar
akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap
idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa[6]. Kedua potensi
sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam
kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak
terdapat di hampir semua perguruan tinggi.
Di Indonesia terdapat lima
organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa,
yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah),
HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji
karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki
corak wacana dan strategi perjuangan yang khas. Berikut sekilas
perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:
1.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo
HMI lahir ditengah-tengah
suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947
di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi
umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan
politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan
langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek
kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang
memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur
yang diridhoi Allah.
Dalam perjalanannya, HMI
telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang
pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet.
Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya
menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai
ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak
jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran
Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi
agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam
Yes, Partai Islam No!.”
2.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai
ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya
mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari
kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan
diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari
sang induknya, NU.[7]
Pada masa pergerakan mahasiswa
1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya
telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya
people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh
mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa
menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan
pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan
mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia,
gender, demokrasi dan lingkungan hidup.
3.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi otonom
(ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni
sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan
IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana
pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan
intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang
digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran
individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, Value, ialah usaha
untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama
sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al
Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi
program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan
keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat[8].
4.
Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986[9].
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986[9].
Setelah beberapa tahun HMI
MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada
tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI
MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan
basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto
kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya
represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.
HMI MPO sendiri sedikit
mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis
dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas
cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.
Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang
lebih modernis saat ini.
5.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
KAMMI terbentuk dalam
rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di
Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada
dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam
dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda
Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan.
Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk
melakukan tekanan moral kepada pemerintah.[10]
Selanjutnya bersama elemen
gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde
Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi
saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia
sebagai pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses
perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan.
Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan
desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya.
Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih
membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang
pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan
menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi
pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.
Mahasiswa
Islam dalam Pergulatan Teologis
Sejak awal berdirinya,
sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan
dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan
mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun
masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa
Islam yang lain, HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa
identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok
keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan
strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul akibat
beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka
bangun.
Kebebasan berpikir yang
telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian
besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah
ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini
merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan
beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu.
Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali
paradigma yang baru.
Pemikiran teologi dalam
masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an
dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan
Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah
merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal
dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya
wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang
tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.
Dalam melakukan telaah
keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-pemikir Islam
kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid,
Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh
dunia Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi,
Mohammad Arkoun, Yusuf Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih
banyak lagi. Ketajaman analisis dan disiplin dalam mempergunakan metode,
membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan mahasiswa Islam.
Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan mahasiswa
Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.
Di Indonesia sendiri, Fachry
Ali dan Bahtiar Effendy[11] menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme
Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan
pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini
lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di
Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi
konsepsi maupun aplikasi ide-ide.
Nurcholish Madjid merupakan
tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia memadukan cita-cita
liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep
rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk
menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas.
Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang
telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena
pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak
tidak dapat dicapai oleh manusia.
Selanjutnya Cak Nur
menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini
adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir
sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang
menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap
keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.
HMI Dipo telah menjadikan
pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman
teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB
HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII,
ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih radikal bila
dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII
memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi
yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin
teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah
ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun
akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat
kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi
termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya
pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut[12].
Dewasa ini terdapat loncatan
perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII. Sebagai
angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional,
kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial
lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal
dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup mereka dipercayai
hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh dipegangi
dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki
pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah
keagamaan dan kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi
PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran[13].
Tradisi berpikir kritis
terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII untuk
melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan
yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII,
sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang
ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama
tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan
tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai
keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII
lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik yang sama yakni
Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu bentuk
keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya
sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki
Tuhan. Yang terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa
kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang
senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik wacana
agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan
ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau
cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara
sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi
pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid,
Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Makna “Islam
Liberal” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat
wacana. Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam
kehidupan umat di lapisan bawah.
Berbeda lagi dengan IMM,
ormas mahasiswa Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh
kultur yang ada di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam
berpikir, bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena
dari sinilah Muhammadiyah melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid
dari segala bentuk praktek keagamaan yang berbau takhayyul, bid’ah dan
khurafat. Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin melangkah ke
arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak
mistis dan metafisis semata[14].
Pada konteks historis, dulu
pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di Muhammadiyah,
sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah cukup
mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan
dan Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak
disadari telah “memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana
keagamaannya. Azyumardi Azra[15] mengkritik pemahaman keagamaan
Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal kecenderungan keagamaan
masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama
Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu
di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis
hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di
kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari
kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama
melakukan fungsi kontrol.
Dengan demikian, Muhammadiyah
telah mengalami kebekuan dalam mengkontruksi wacana teologinya.
Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang secara
tidak langsung mendorong formalisasi agama.
Kondisi semacam ini berimbas
pada IMM secara langsung. Krisis wacana yang dialami kader-kader IMM
kemudian berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di amal
usaha Muhammadiyah. Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas
kreatif yang tekun melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya
dengan tantangan umat Islam dan Bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya
adalah Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo.
Fajar dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya Nurcholish
Madjid yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis
pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar[16]
menyatakan perlunya menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang
liberatif terhadap kaum tertindas. Bangunan epistimologi teologi pluralis
adalah meyakini setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, jadi
menghargai pluralitas teologi agama-agama. Sayangnya wacana ini belum
berkembang di sebagian besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.
Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana
telah sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa Islam ini mengalami
pergeseran cukup drastis. Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif,
konsisten dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan
parameter Islam. Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan
menyerahkan pemahaman teologis terhadap pluralitas anggotanya.
Dari penjelasan tersebut,
terlihat tidak adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI MPO. Tidak
aneh jika ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada kader
yang sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang
tampil lebih moderat, bahkan cenderung ‘liar’ dan semaunya sendiri.
Pemandangan semacam ini mudah dijumpai pada kader-kader HMI MPO.
KAMMI yang dilahirkan oleh
para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas.
Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di
Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di
puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini.
Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan
KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI
memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem
yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan
kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi
individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena
itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan.[17]
Tradisi pendekatan wacana
yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui
teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan
selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits.
Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang
(ghiroh) tersendiri bagi KAMMI. Pada akhirnya, kontekstualisasi teks
dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah lebih banyak di
bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.
Ekspresi
Politik Gerakan Mahasiswa Islam
Untuk mengetahui ekspresi
atau sikap gerakan mahasiswa Islam terhadap kondisi sosial politik yang
berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik
aliran. Aliran menurut Clifford Geertz[18] ditandai oleh beberapa
ciri. Pertama, aliran adalah suatu gerakan sosial yang kemudian mengalami
kristalisasi menjadi pengelompokan politik. Kedua, walaupun suatu aliran
didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita moral
yang lebih luas. Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu
pengelompokan politik, sebuah aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah
organisasi sukarela yang terikat secara resmi maupun tidak resmi dengan
pengelompokan politik yang menjadi pusatnya.
Tipologi Geertz ini kemudian
dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle[19] yang membagi pemikiran
politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme
Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan
tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian
berkembang tidak hanya pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu
mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.
Menurut Geertz, afiliasi
pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya ini. Kelompok santri
kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan sebagian ke PKI, priyayi
lebih banyak berafiliasi ke PNI. Basis aliran ini kemudian berkembang
menjadi ideologi politik aliran yaitu Islam, nasionalis, komunis dan sosialis
meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat kecil. Pemilu pertama tahun
1955 membuktikan dari sekian banyak partai yang muncul, empat partai besar
sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi Geertz sebagai basis ideologi
mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam dengan Masyumi dan NU, Komunis
dengan PKI dan Sosialis dengan PSI.
Perkembangan pemilu 1999
menunjukkan gejala yang hampir sama meskipun tidak seratus persen. Bahkan
ada kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena politik
tahun 1955. Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang
sifatnya cenderung ideologis. Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke
partai- partai yang identik dengan Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara
Masyumi juga tidak beralih ke partai-partai yang identik dengan NU, PNI atau
PKI (PDI P, PKB dan PRD). Kecenderungan ideologis ini tidak lepas dari
tubuh Islam yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis. NU
mewakili tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis.
Dua bentuk pemikiran ini
selalu berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam bidang syariah.
Kutub tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara Kutub
modernis diwakili organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri merupakan
organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan
umat Islam dari berbagai bentuk takhyul, bid’ah dan khufarat. Bagi
Muhammadiyah, keyakinan umat telah banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik
peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa. Sementara kelahiran NU salah satu
latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi. Dalam hal ini, NU
merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya
Muhammadiyah. Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik
yang sampai sekarang ada.
Kondisi gerakan mahasiswa
Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi yang tidak jauh
berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam beberapa hal mengalami beberapa
metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok
politik yang dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai. PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) lahir dari generasi muda NU (Nahdlatul
Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) lahir dibidani kelompok Islam modernis
Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang jelas berasal
dari Muhammadiyah. Sementara, keberadaan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia) pada praktik politik selanjutnya juga tidak bisa dilepaskan
dari PK (Partai Keadilan).
Pada tahap selanjutnya,
polarisasi lebih tajam terlihat pada kalangan Islam modernis yang
diwakili HMI Dipo, HMI MPO, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis
yang diwakili PMII. Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada
masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa waktu menjelang
lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal pemerintahan Megawati, terdapat friksi
antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan ideologis. Memang
berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur, seperti
permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun
konstitusi. Namun apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur semata
terjadi karena konflik ideologis yang sekian lama terpendam.
Meskipun naiknya Gus Dur
dengan bantuan poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN, PBB, PK, namun aspirasi
dan kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan. Apabila
ditelurusi, tentu saja hal ini bukan hal yang baru. NU atau dalam hal ini
PKB jelas tidak mungkin berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros
tengah. NU lebih mudah bergandengan tangan dengan kalangan abangan
seperti dengan PDI P.
Fenomena yang sama juga
terjadi pada ormas mahasiswa Islam. PMII lebih mudah bekerja sama
dengan kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya. Hal seperti
ini sering terjadi seperti pada waktu pro kontra penurunan Gus Dur.
PMII bekerja sama dengan ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk mendukung atau pro
Gus Dur tetap menjadi presiden. Sementara, kelompok yang kontra Gus Dur
seperti HMI Dipo, HMI MPO, IMM, dan KAMMI secara serentak, bersama menuntut Gus
Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh kelompok modernis yang lain
seperti HMI Dipo, HMI MPO, dan IMM.
Pada dasarnya mereka
sama-sama memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas Megawati
diragukan. Sedangkan alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini
terbukti bahwa kekuasaan itu cenderung korup, sebagaimana adagium Lord
Acton. Sebagai organisasi yang independen, ormas Islam modernis lebih
menitikberatkan perjuangannya pada kepentingan rakyat karena selama ini rakyat
selalu berada dalam posisi yang tertindas padahal dalam konteks demokrasi,
mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Kesimpulan
Pemahaman terhadap teologi
sebagai landasan filosofis berpengaruh pada tindakan politik sebagaimana tesis
sosiologi pengetahuan, bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan.
Selanjutnya, ideologi yang dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap
dan diwujudkan lebih jelas pada ekspresi politik.
Gerakan mahasiswa Islam
sebagai realitas sosial merupakan replika atau miniatur dari kondisi masyarakat
Indonesia pada umumnya. Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas
Islam ternyata memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang. Sampai saat
ini, tipologi Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan masih kental
pada masyarakat sekarang.
Ideologi gerakan mahasiswa
Islam pada dasarnya adalah Islam. Namun dalam perkembangan selanjutnya
mengalami metamorfose seiring dengan perkembangan jaman. Dengan memahami
ideologi meraka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka
selanjutnya.
Perbedaan merupakan
sunatullah. Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran tidak
perlu di permasalahkan dan menjadi sumber konflik. Yang lebih penting
adalah bagaimana seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan
juga memperkaya sekaligus rahmat yang harus dijaga. Dengan perbedaanlah
akan tumbuh otensitas keimanan dalam hidup bermasyarakat karena benturan-benturan
atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya akan mendewasakan
sekaligus menjadi pengalaman yang berharga. Wallahu a’lam.
Catatan:
[1] Jorge Lorrain, Konsep
Ideologi, 1996, hlm 10.
[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1991, hlm 230.
[3] Gagasan-gagasan Gramsci direkam dengan baik oleh Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999, hlm 83.
[4] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1992, hlm 232.
[5] Arbi sanit dalam Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 95. Lihat juga Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.
[6] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 188.
[7] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001.
[8] Anonim, Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah, 1999.
[9] M Rusli, Karim, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 131.
[10] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 70-71.
[11] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
[12] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif, Suara Merdeka, 31/06/2001.
[13] Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida : Anak Muda NU di Jalur Kultural, 1999, hlm 2.
[14] Bahrus Surur, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
[15] Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, 2000, hlm 47.
[16] Fajar Riza, Ul Haq, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001.
[17] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 189.
[18] Ignas Kleden, Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz, 1988, hlm 49.
[19] Herbert Feith & Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, 1996.
[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1991, hlm 230.
[3] Gagasan-gagasan Gramsci direkam dengan baik oleh Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999, hlm 83.
[4] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1992, hlm 232.
[5] Arbi sanit dalam Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 95. Lihat juga Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.
[6] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 188.
[7] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001.
[8] Anonim, Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah, 1999.
[9] M Rusli, Karim, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 131.
[10] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 70-71.
[11] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
[12] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif, Suara Merdeka, 31/06/2001.
[13] Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida : Anak Muda NU di Jalur Kultural, 1999, hlm 2.
[14] Bahrus Surur, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
[15] Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, 2000, hlm 47.
[16] Fajar Riza, Ul Haq, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001.
[17] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 189.
[18] Ignas Kleden, Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz, 1988, hlm 49.
[19] Herbert Feith & Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, 1996.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.
Ali, Fachry dan Bahtiar
Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam
Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi, 2000.
Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Berger, Peter L & Hansfried
Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang
Kerja. Jakarta: LP3ES.
————– & Thomas Luckmann,
1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Feith, Herbert & Lance
Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta:
LP3ES.
Huda, Nurul, PMII Kader
Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001
Kleden, Ignas, 1988.
Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO
dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
————-, 1999. Negara dan
Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijaksanaan
Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era 1970-an dan
1980-an. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Larrain, Jorge, 1996.
Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Latif, Yudi, 1999. Masa Lalu
Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan.
Mannheim, Karl, 1993.
Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta:
Kanisius.
Nuswantoro, 2001.
Daniel Bell, Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera.
Rahmat, Andi dan Muhammad
Najib, 2001. Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Purimedia.
Salim HS, Hairus, dan
Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural.
Yogyakarta: LKiS.
Sanit. Arbi, 1999.
Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan
Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simon, Roger, 1999,
Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suseno, Franz Magnis, 1992,
Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius.
Surur, Bahrus, 2001, Teologi
Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal
INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
Ul Haq, Fajar Riza, 2001, Neo
Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju
Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001
Imam Cahyono
Lahir di Pati, 17 Januari
1979, tercatat sebagai mahasiswa sosiologi semester akhir FISIP Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. Saat ini masih aktif sebagai editor
Jurnal Interaksi Sosiologi Fisip Unsoed, beberapa forum diskusi dan majlis
taklim. Pengalaman organisasi yang pernah digeluti antara lain sebagai Ketua
Bidang Hikmah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemimpin Redaksi Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa Universitas Jenderal Soedirman, dan koordinator
Forum Kajian Islam Strategis, Purwokerto. Sekarang bekerja sebagai
koresponden dan penulis lepas di beberapa media massa.
0 komentar:
Posting Komentar