Iseng-iseng saya membuka situs-situs
keIslaman yang sedang ngetrend di kalangan umat Islam akhir-akhir ini. Ada hal
yang menarik sekaligus membuat saya miris melihatnya. Jadi ceritanya ada 2
gerakan Islam, satu sama lain saling menuduh. Gerakan A sebut saja, menyebut
gerakan B Neo-Khawarij. Gerakan B sebut saja, menyebut gerakan A, Neo Murji’ah.
Apa itu Khawarij dan Murjiah? Khawarij adalah salah satu sekte dalam Islam yang
muncul pada zaman pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ciri-ciri kelompok
ini menurut Syaikh Shalih bin Fauzan adalah suka mengkafirkan kaum muslimin,
keluar dari ketaatan kepada penguasa dan menghalalkan darah kaum muslimin. Sebaliknya
murji’ah adalah kelompok yang meyakini bahwa pengakuan iman hanya cukup dalam
hati, tidak perlu dibuktikan dengan perbuatan dan meyakini bahwa selama
seseorang mengucap kalimat syahadat, walaupun melakukan dosa besar, tetap
dihukumi mukmin, dan tidak kafir.
Kenapa bisa saling menuduh seperti
itu? Tentu kedua kelompok ini mengaku bahwa mereka ahlu sunnah wal jamaah dan
tidak terima tuduhan itu satu sama lain. Namun permasalahannya terletak pada
sikap mereka terhadap pemerintah. Kelompok A, mewajibkan taat kepada pemerintah
selama pemerintah masih tetap mengizinkan ibadah, walau tidak berhukum dengan
hukum Islam. Sementara kelompok B, mewajibkan untuk melawan dan tidak taat
terhadap pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Islam. Mereka berpendapat
bahwa pemerintah itu thagut, dan karenanya harus dihancurkan. Akhirnya
terjadilah dialektika antara dua kelompok Islam ini.
Tentu bukan itu inti yang akan saya
bahas dalam tulisan ini, hal tersebut hanya sekelumit fakta yang terjadi pada
umat Islam dewasa ini. Sering kita mendengar kata “ukhuwah” dilantunkan dalam
pengajian-pengajian. Namun pada prakteknya ternyata tidak sesederhana itu, Alhamdulillah
kedua kelompok tadi bukanlah mainstream kaum muslimin di Indonesia. Namun
walaupun sedikit, tapi mereka yang paling vocal sehingga terlihat besar. Kasus
di atas bisa jadi contoh ternyata ukhuwah Islamiyah tidak semudah yang
dibayangkan.
Dalilnya tentu sudah jelas, innamal
mu’minuuna ikhwah, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.
Permasalahannya, definisi mu’min bagi setiap kelompok kadang berbeda. Ada yang
menganggap bahwa mu’min itu yang masuk kelompoknya saja dikarenakan kelompoknya
lah yang paling merepresentasikan pesan-pesan Tuhan di dunia. Konsekuensinya
jelas, maka selain kelompoknya, dianggap bukan ikhwah atau saudara, sehingga
diperlakukan warga kelas 2. Biasanya hal ini terjadi pada kelompok ekstremis,
dalam bahasa Islam ghuluw. Pernah salah seorang psikolog UI menjadi peneliti
kelompok-kelompok garis keras ini. Dia berkunjung ke tempat kelompok tersebut,
tentu dia diperlakukan seperti layaknya tamu pada umumnya. Namun ada yang
menarik, dia menemukan bahwa kalau kita bertamu ke sana, dan tidak diberi
minum, berarti kita masih dianggap orang asing. Namun kalau kita kesana dijamu
dengan mewah, bahkan sampai menyembelih kambing untuk kita, berarti kita sudah
dianggap bagian dari “umat” mereka.
Lalu ada juga kelompok yang
berpendapat, bahwa selama seseorang masih bersyahadat dan melaksanakan
ibadah-ibadah yang diperintahkan, dia adalah mu’min., walaupun berbeda
pemahaman fiqh nya. Saya kira kelompok ini masih jadi mainstream di bumi
nusantara ini. Kelompok ini menurut saya lebih baik, karena dapat mencerminkan
harmony in diversity dalam tubuh umat Islam. Kelompok ini memahami bahwa
keragaman pemahaman dalam beragama merupakan suatu yang niscaya. Keragaman
tersebut dapat menjadi berkah manakala bisa dikelola, namun bisa menjadi laknat
dan perpecahan manakala tidak pandai mengelolanya. Tidak aneh kalau muncul
adagium, perbedaan adalah rahmat.
Ukhuwah Islamiyah tentu hanyalah
pepesan kosong dalam kelompok ekstremis tadi. Namun dalam kelompok moderat yang
menjadi mainstream umat Islam di Indonesia, ukhuwah menjadi konsep yang sangat
mungkin diwujudkan. Bangsa Indonesia ini sudah sejak lama terbiasa hidup dalam
keragaman. Sehingga keragaman dalam ekspresi keberagamaan umat Islam seharusnya
tidak terlalu masalah. Tentu kita mempunyai asas-asas yang bersifat mutlak
dalam agama, istilahnya ushul. Namun ada hal-hal yang bukan bersifat pokok
(furu’) yang kita bisa bertoleransi dalam hal tersebut.
Contoh konkret adalah kehidupan saya
di kampus. Alhamdulillah saya masuk kampus Eknomi Islam yang 50% lebih
mahasiswanya berasal dari pesantren atau SMA Islam. Alhasil, tentu
masing-masing mahasiswa membawa pemahaman keagamaan yang mereka dapat di
pesantren asalnya. Saya melihat corak yang berbeda-beda diantara beberapa kawan
saya. Ada yang pas di SMA anak rohis, kelihatan coraknya. Ada yang alumni
pesantren tradisional, kelihatan juga coraknya. Ada yang alumni pesantren
modern, ada cirinya juga. Tapi tidak tahu kenapa, belum ada ekstremis yang jadi
mahasiswa kampus saya, jadi saya tidak tahu persisnya mereka itu seperti apa. Alhamdulillah,
masing-masing mempunyai keunikan dan kelebihan. Lalu di kampus pun kami tidak
pernah saling menonjolkan diri, namun saling menghargai dan membangun harmoni. Kami
diikat oleh satu ukhuwah, yakni ekonomi Islam. Bayangkan saja kalau kampus kami
yang masih sedikit mahasiswa nya ribut berdebat antara qunut dan tidak qunut,
khilafah dan demokrasi, hisab dan rukyat, habislah kampus kita. Tentu sesekali
pernah ada perdebatan semacam itu, namun hanya saat kuliah di kelas, tidak
sampai mengganggu hubungan social.
Lain lagi dengan PTN yang terkenal
di Bogor, saya banyak bercengkerama dengan mahasiswanya. Mereka bercerita bahwa
di kampusnya, suka ada tuh clash antara kelompok Islam.Yang saya amati sih
memang lebih dikarenakan perpolitikan kampus. Jadi ceritanya, ada salah satu
kelompok Islam yang ingin mendominasi IPB dari structural pejabat sampai
mahasiswanya. Wajar donk kalau kelompok Islam lain tidak terima, mengingat IPB
kan milik negara, otomatis seharusnya semua dapat kedudukan yang sama dan tidak
ada dominasi. Namun memang dalam segi wacana pun terasa pertentangannya.
Analisis saya, kebanyakan mahasiswa IPB kan alumni SMA Umum, saat mereka
menemukan kesejukan agama, biasanya mereka lebih agresif dan militan ketimbang
lulusan pesantren. Tentu sangat wajar dan positif, daripada jadi anak hedonis.
Nah, over militansi dan agresifitas ini kadang membuat seseorang kurang bisa
berfikir dengan nalar sehatnya. Namun Alhamdulillah, kabar terbaru yang saya
dengar, sekarang sudah ada forum silaturahmi antar kelompok Islam ini. Diharapkan
forum ini bisa menjadi wadah ukhuwah yang sebenarnya, dan bukan hanya ukhuwah
yang semu.
Kadang saya suka berfikir, orang
Yahudi dan Nasrani saja konon bisa bersatu untuk menghadapi Islam. Nah umat
Islam hingga hari ini, masih saja terpecah-pecah dalam berbagai faksi, padahal
sudah jelas ada musuh bersama. Jelas tidak mungkin untuk menyamakan seluruh
pemikiran kelompok Islam. Namun ada hal-hal yang universal yang saya yakin
diyakini bersama, contohnya nilai-nilai tauhid, keadilan dan kemanusiaan. Hal
tersebut seharusnya bisa jadi kalimatun sawaa’ antar perbedaan pemahaman yang
berujung pada ukhuwah sejati. Tak apalah cara atau metodologi yang ditempuh
berbeda, kita hargai dengan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Saat
ukhuwah Islamiyah sudah dapat diterapkan, maka diperluas lagi kepada ukhuwah
wathoniyah (antar sesama warga negara) dan ukhuwah insaniyah (kemanusiaan
universal). Kalau hal tersebut terwujud, Insya Allah Islam benar-benar akan
menjadi rahmatan lil ‘Alamin.
Bogor, 11 Desember 2012
Robby Karman
Bidang Organisasi dan Kader
0 komentar:
Posting Komentar