Selasa, 26 Maret 2013

Iseng-iseng saya membuka situs-situs keIslaman yang sedang ngetrend di kalangan umat Islam akhir-akhir ini. Ada hal yang menarik sekaligus membuat saya miris melihatnya. Jadi ceritanya ada 2 gerakan Islam, satu sama lain saling menuduh. Gerakan A sebut saja, menyebut gerakan B Neo-Khawarij. Gerakan B sebut saja, menyebut gerakan A, Neo Murji’ah. Apa itu Khawarij dan Murjiah? Khawarij adalah salah satu sekte dalam Islam yang muncul pada zaman pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ciri-ciri kelompok ini menurut Syaikh Shalih bin Fauzan adalah suka mengkafirkan kaum muslimin, keluar dari ketaatan kepada penguasa dan menghalalkan darah kaum muslimin. Sebaliknya murji’ah adalah kelompok yang meyakini bahwa pengakuan iman hanya cukup dalam hati, tidak perlu dibuktikan dengan perbuatan dan meyakini bahwa selama seseorang mengucap kalimat syahadat, walaupun melakukan dosa besar, tetap dihukumi mukmin, dan tidak kafir.

Kenapa bisa saling menuduh seperti itu? Tentu kedua kelompok ini mengaku bahwa mereka ahlu sunnah wal jamaah dan tidak terima tuduhan itu satu sama lain. Namun permasalahannya terletak pada sikap mereka terhadap pemerintah. Kelompok A, mewajibkan taat kepada pemerintah selama pemerintah masih tetap mengizinkan ibadah, walau tidak berhukum dengan hukum Islam. Sementara kelompok B, mewajibkan untuk melawan dan tidak taat terhadap pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Islam. Mereka berpendapat bahwa pemerintah itu thagut, dan karenanya harus dihancurkan. Akhirnya terjadilah dialektika antara dua kelompok Islam ini.

Tentu bukan itu inti yang akan saya bahas dalam tulisan ini, hal tersebut hanya sekelumit fakta yang terjadi pada umat Islam dewasa ini. Sering kita mendengar kata “ukhuwah” dilantunkan dalam pengajian-pengajian. Namun pada prakteknya ternyata tidak sesederhana itu, Alhamdulillah kedua kelompok tadi bukanlah mainstream kaum muslimin di Indonesia. Namun walaupun sedikit, tapi mereka yang paling vocal sehingga terlihat besar. Kasus di atas bisa jadi contoh ternyata ukhuwah Islamiyah tidak semudah yang dibayangkan.
Dalilnya tentu sudah jelas, innamal mu’minuuna ikhwah, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Permasalahannya, definisi mu’min bagi setiap kelompok kadang berbeda. Ada yang menganggap bahwa mu’min itu yang masuk kelompoknya saja dikarenakan kelompoknya lah yang paling merepresentasikan pesan-pesan Tuhan di dunia. Konsekuensinya jelas, maka selain kelompoknya, dianggap bukan ikhwah atau saudara, sehingga diperlakukan warga kelas 2. Biasanya hal ini terjadi pada kelompok ekstremis, dalam bahasa Islam ghuluw. Pernah salah seorang psikolog UI menjadi peneliti kelompok-kelompok garis keras ini. Dia berkunjung ke tempat kelompok tersebut, tentu dia diperlakukan seperti layaknya tamu pada umumnya. Namun ada yang menarik, dia menemukan bahwa kalau kita bertamu ke sana, dan tidak diberi minum, berarti kita masih dianggap orang asing. Namun kalau kita kesana dijamu dengan mewah, bahkan sampai menyembelih kambing untuk kita, berarti kita sudah dianggap bagian dari “umat” mereka. 
Lalu ada juga kelompok yang berpendapat, bahwa selama seseorang masih bersyahadat dan melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan, dia adalah mu’min., walaupun berbeda pemahaman fiqh nya. Saya kira kelompok ini masih jadi mainstream di bumi nusantara ini. Kelompok ini menurut saya lebih baik, karena dapat mencerminkan harmony in diversity dalam tubuh umat Islam. Kelompok ini memahami bahwa keragaman pemahaman dalam beragama merupakan suatu yang niscaya. Keragaman tersebut dapat menjadi berkah manakala bisa dikelola, namun bisa menjadi laknat dan perpecahan manakala tidak pandai mengelolanya. Tidak aneh kalau muncul adagium, perbedaan adalah rahmat. 
Ukhuwah Islamiyah tentu hanyalah pepesan kosong dalam kelompok ekstremis tadi. Namun dalam kelompok moderat yang menjadi mainstream umat Islam di Indonesia, ukhuwah menjadi konsep yang sangat mungkin diwujudkan. Bangsa Indonesia ini sudah sejak lama terbiasa hidup dalam keragaman. Sehingga keragaman dalam ekspresi keberagamaan umat Islam seharusnya tidak terlalu masalah. Tentu kita mempunyai asas-asas yang bersifat mutlak dalam agama, istilahnya ushul. Namun ada hal-hal yang bukan bersifat pokok (furu’) yang kita bisa bertoleransi dalam hal tersebut.
Contoh konkret adalah kehidupan saya di kampus. Alhamdulillah saya masuk kampus Eknomi Islam yang 50% lebih mahasiswanya berasal dari pesantren atau SMA Islam. Alhasil, tentu masing-masing mahasiswa membawa pemahaman keagamaan yang mereka dapat di pesantren asalnya. Saya melihat corak yang berbeda-beda diantara beberapa kawan saya. Ada yang pas di SMA anak rohis, kelihatan coraknya. Ada yang alumni pesantren tradisional, kelihatan juga coraknya. Ada yang alumni pesantren modern, ada cirinya juga. Tapi tidak tahu kenapa, belum ada ekstremis yang jadi mahasiswa kampus saya, jadi saya tidak tahu persisnya mereka itu seperti apa. Alhamdulillah, masing-masing mempunyai keunikan dan kelebihan. Lalu di kampus pun kami tidak pernah saling menonjolkan diri, namun saling menghargai dan membangun harmoni. Kami diikat oleh satu ukhuwah, yakni ekonomi Islam. Bayangkan saja kalau kampus kami yang masih sedikit mahasiswa nya ribut berdebat antara qunut dan tidak qunut, khilafah dan demokrasi, hisab dan rukyat, habislah kampus kita. Tentu sesekali pernah ada perdebatan semacam itu, namun hanya saat kuliah di kelas, tidak sampai mengganggu hubungan social.
Lain lagi dengan PTN yang terkenal di Bogor, saya banyak bercengkerama dengan mahasiswanya. Mereka bercerita bahwa di kampusnya, suka ada tuh clash antara kelompok Islam.Yang saya amati sih memang lebih dikarenakan perpolitikan kampus. Jadi ceritanya, ada salah satu kelompok Islam yang ingin mendominasi IPB dari structural pejabat sampai mahasiswanya. Wajar donk kalau kelompok Islam lain tidak terima, mengingat IPB kan milik negara, otomatis seharusnya semua dapat kedudukan yang sama dan tidak ada dominasi. Namun memang dalam segi wacana pun terasa pertentangannya. Analisis saya, kebanyakan mahasiswa IPB kan alumni SMA Umum, saat mereka menemukan kesejukan agama, biasanya mereka lebih agresif dan militan ketimbang lulusan pesantren. Tentu sangat wajar dan positif, daripada jadi anak hedonis. Nah, over militansi dan agresifitas ini kadang membuat seseorang kurang bisa berfikir dengan nalar sehatnya. Namun Alhamdulillah, kabar terbaru yang saya dengar, sekarang sudah ada forum silaturahmi antar kelompok Islam ini. Diharapkan forum ini bisa menjadi wadah ukhuwah yang sebenarnya, dan bukan hanya ukhuwah yang semu.
Kadang saya suka berfikir, orang Yahudi dan Nasrani saja konon bisa bersatu untuk menghadapi Islam. Nah umat Islam hingga hari ini, masih saja terpecah-pecah dalam berbagai faksi, padahal sudah jelas ada musuh bersama. Jelas tidak mungkin untuk menyamakan seluruh pemikiran kelompok Islam. Namun ada hal-hal yang universal yang saya yakin diyakini bersama, contohnya nilai-nilai tauhid, keadilan dan kemanusiaan. Hal tersebut seharusnya bisa jadi kalimatun sawaa’ antar perbedaan pemahaman yang berujung pada ukhuwah sejati. Tak apalah cara atau metodologi yang ditempuh berbeda, kita hargai dengan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Saat ukhuwah Islamiyah sudah dapat diterapkan, maka diperluas lagi kepada ukhuwah wathoniyah (antar sesama warga negara) dan ukhuwah insaniyah (kemanusiaan universal). Kalau hal tersebut terwujud, Insya Allah Islam benar-benar akan menjadi rahmatan lil ‘Alamin.

Bogor, 11 Desember 2012
Robby Karman
Bidang Organisasi dan Kader

0 komentar:

Posting Komentar